Mercon (Petasan), Antara Tradisi dan Petaka di Kala Hari Raya
Mungkin sudah sedikit terlambat bagi saya untuk menuliskan tentang hal ini. Namun tidak apalah, karena memang entah kenapa sejak beberapa hari ini mata, telinga, dan pikiran saya begitu terusik akan fenomena mercon (petasan) di sekitar kita sehingga membuat saya terdorong untuk membuat artikel yang mungkin tidak penting ini. Saya memang bukan siapa-siapa, tapi di blog ini saya ingin sedikit membagikan unek-unek yang kebetulan melintas di benak saya terkait fenomena ini.
ilustrasi via radarjogja |
Fenomena mercon atau petasan memang sudah menjadi tradisi yang mengakar kuat bagi khalayak masyarakat Indonesia. Setiap tahunnya, mercon selalu hadir untuk menyemarakkan datangnya bulan suci Ramadhan bagi umat Islam. Lebih-lebih ketika tiba malam takbiran menjelang hari raya, dentuman suara mercon (petasan) hampir tiada henti-hentinya bertaut-tautan di segenap penjuru pelosok daerah.
Menurut beberapa sumber, sejarah keberadaan petasan sendiri konon berasal dari negeri Tiongkok yang kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia. Tidak terkecuali di Indonesia, negeri yang dihuni oleh penduduk mayoritas muslim ini juga tidak ketinggalan untuk bermain mercon meski mungkin tujuannya berbeda. Entah sejak kapan mulanya, namun yang jelas mercon selalu muncul kala bulan ramadhan dan hari raya lebaran tiba.
Jenis mercon pun ada banyak macamnya, dari yang ukurannya kecil hingga yang besar, dari yang ledakannya kecil, sedang, hingga yang menggelegar bak bom atom, dari yang bisa dibeli di warung-warung, hingga yang dirakit sendiri dari ilmu yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Dari kesemuanya tersebut, salah satu yang menjadi perhatian saya adalah mercon hasil rakitan yang biasanya banyak dibuat dan diracik oleh para pemuda kampung secara berkelompok.
Sejak kecil, saya memang tidak begitu suka dengan yang namanya mercon. Meski begitu, bukan berarti saya anti atau membenci mereka yang suka bermain mercon. Ketika masih kecil, saya juga pernah main tapi mercon kecil (rawitan) yang banyak dijual di warung dan ledakannya tidak seberapa. Tapi bagi mereka yang menyukai mercon, terasa kurang mantap jika tidak membuat mercon dengan daya ledak besar yang biasanya terbuat dari gulungan kertas dengan berbagai ragam ukuran.
Mercon-mercon dari gulungan kertas inilah yang hampir selalu dijumpai di mana-mana. Saya kurang begitu tahu kalau di kota-kota besar, tapi kalau di desa-desa, hampir selalu muncul generasi muda-muda yang diberi kelihaian dalam meracik jenis mercon satu ini. Saya kadang heran dengan fenomena ini. Apakah "ilmu" meracik mercon ini diturunkan oleh para pendahulunya (yang sudah pensiun) sehingga meskipun zaman sudah berganti, tapi selalu saja muncul peracik-peracik baru yang sama lihainya dalam membuat mercon.
Tradisi Atau Sumber Petaka?, dan Bagaimana Baiknya?
Jujur saja, saya membuat artikel ini karena tersentak oleh berita-berita mengenai mercon yang telah merenggut korban jiwa di sejumlah daerah. Kebetulan, di daerah saya sendiri (Kebumen) juga sedang ramai berita tentang ledakkan mercon di Desa Ngabean, Mirit, Kebumen, yang telah merenggut 4 korban nyawa. Selain di Kebumen, peristiwa hampir serupa juga telah terjadi di daerah-daerah lain seperti di Kudus, Kediri, dan Tulungagung beberapa waktu lalu. Saya turut berbelasungkawa atas kejadian-kejadian tersebut.
Memang tidak dipungkiri bahwa tradisi yang sudah mengakar kuat ini sangatlah sulit untuk dihilangkan sepenuhnya. Bahkan meski dari tahun ke tahun selalu saja jatuh korban akibat mercon (petasan) ini, nyatanya "peringatan mematikan" ini tampaknya tidak begitu berpengaruh bagi lainnya. Padahal jika dipikirkan kembali, sangat disayangkan sekali jika malam takbiran untuk bersuka cita justru berubah menjadi petaka atau musibah nan memilukan.
Jika begini, lantas bagaimana baiknya?. Sekali lagi kembali ke perihal tradisi. Meski telah dilarang pemerintah karena berpotensi membahayakan, namanya tradisi memang sulit untuk dihilangkan. Bagi masyarakat Indonesia, petasan (mercon) memang seakan sudah menjadi hal yang tidak terpisahkan manakala menjelang hari raya tiba. Buktinya bisa anda lihat sendiri manakala berkeliling kampung dari desa ke desa, kertas-kertas pun banyak berserakan di pinggir-pinggir jalan, dekat tanggul sawah, atau bahkan di depan masjid-masjid.
Di satu sisi, penyulutan mercon memang menjadi sajian yang menarik untuk ditonton bersama-sama setelah shalat Id selesai. Namun di sisi lain, ia juga bikin bising dan bisa sangat berbahaya baik bagi para pembuatnya (saat proses peracikan) atau saat penyulutan bagi penyulut dan orang-orang di sekitarnya. Dari sini, saya jadi berangan-angan kalau saja tradisi ini tidak mesti harus dihilangkan, tetapi syaratnya juga mesti ada solusi yang harus dipenuhi, dipatuhi dan dijalankan agar mercon-mercon ini tidak lagi membahayakan bagi manusia.
Tapi apakah bisa?. Entahlah, tapi saya pernah melihat beberapa pertunjukan serupa petasan dari video-video orang di luar negeri sana. Saya lihat, ada beberapa tahapan, persiapan, dan ketelitian yang mesti dilakukan sebelum pertunjukan mercon (petasan) dimainkan. Selain itu, mereka yang memainkan mercon juga bukan sembarang orang. Melainkan orang-orang tertentu yang memang ahli dalam bidang tersebut sehingga tahu mana yang aman dan mana yang berpotensi membahayakan. Demikian pula area tempat penyulutan juga mesti disterilkan dari aktivitas orang-orang yang menyaksikannya.
Kesimpulan dari angan-angan saya, andai saja tradisi mercon (petasan) di negeri ini tetap ada, tapi dikelola secara legal, ketat, dan profesional, termasuk melibatkan unsur terkait dalam hal aturan main dari proses pembuatan hingga penyulutan. Dengan kata lain, harus orang-orang khusus (terpilih) yang memang boleh membuat dan memainkan mercon (petasan) sebagai media pertunjukan untuk menyemarakkan datangnya hari raya. Selain itu, mesti ada peraturan khusus yang harus benar-benar diperhatikan agar penyulut dan para penonton di sekelilingnya tetap aman ketika mercon diletuskan.
Memang tetap sulit sih untuk diterapkan di Indonesia. Namanya bahan peledak juga tetap berbahaya. Tapi jika bisa dikelola sebagaimana orang-orang dari luar negeri tersebut, mungkin saja bisa. Kalau memang tetap tidak bisa, ya memang sudah seharusnya dilarang dan dikenakan hukuman bagi pembuatnya karena berpotensi membahayakan. Kiranya dengan adanya berita-berita petaka akibat mercon ini, semoga bisa menyadarkan mereka yang belum merasakannya agar jangan sampai kejadian-kejadian tersebut terulang kembali. Saya kira masih ada banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk menyemarakkan hari raya yang indah ini. Sekian.
Posting Komentar untuk "Mercon (Petasan), Antara Tradisi dan Petaka di Kala Hari Raya"